Artikel ini adalah bagian dari seri |
Agama asli Nusantara |
---|
Sumatra |
Ugamo Malim • Pemena • Arat Sabulungan • Fanömba adu • Melayu |
Jawa |
Sunda Wiwitan (Madraisme & Buhun) • Kapitayan • Kejawen • Hindu Jawa • Saminisme |
Nusa Tenggara |
Hindu Bali • Halaika • Wetu Telu • Marapu • Jingi Tiu • Koda Kirin |
Kalimantan |
Kaharingan • Momolianisme • Bungan |
Sulawesi |
Aluk Todolo • Tolotang • Tonaas Walian • Adat Musi • Masade • Hindu Sulawesi |
Maluku dan Papua |
Naurus • Wor • Asmat |
Organisasi |
Portal «Agama» |
Marapu adalah sebuah agama asli Nusantara yang saat ini banyak dianut oleh masyarakat Nusa Tenggara Timur, khususnya di Pulau Sumba. Kepercayaan ini awalnya berkembang di Suku Mbojo (Bima Kuno) yang mendiami wilayah timur Pulau Sumbawa, kemudian meluas dan menyebar hingga ke wilayah timur. Pesatnya perkembangan kepercayaan Marapu di Pulau Sumba dikisahkan dengan jelas melalui Hikayat Putri Kalepe dalam BO' Sangaji Kai (naskah kuno Kerajaan Bima). Dikisahkan bahwa salah satu keluarga Bangsawan Kalepe (wilayah selatan Bima) lari ke Pulau Sumba karena dikucilkan akibat melawan keinginan salah satu penguasa Dana Mbojo (Bima kuno). Pernikahan putri Bangsawan Kalepe bernama La Bibano, dengan salah satu anak penguasa yang berpengaruh di Pulau Sumba, turut menyebarluaskan kepecayaan ini. Namun di Mbojo/Bima sendiri kepercayaan ini mulai ditinggalkan sejak kedatangan pengaruh Hindu-Budha (Siwa-Budha) pada abad 8-9 masehi, terlebih saat Kerajaan Bima memasuki era Kesultanan Islam pada abad 17 masehi, hanya masyarakat yang tinggal di wilayah-wilayah pegunungan yang masih mempraktikkannya, sebagaimana yang dicatat oleh Zolinger pada tahun 1850 dan catatan Elbert pada tahun 1910, yang menemukan praktik kepercayaan ini masih dilakukan di wilayah pegunungan di Bima.
Kepercayaan ini disebut juga nama sebuah organisasi penghayat kepercayaan yang didaftarkan pada tahun 1982. Marapu berasal dari 2 kata yaitu "Ma" (yang) dan "Rappu" (Tidak disebut/Satu/Pemali/Sakral):"Yang Sakral", "Yang Pemali", suatu Entitas seperti Tuhan yang disembah yang adalah pencipta langit dan Bumi. Sementara di Bima, Marapu diterjemahkan sebagai "Ma" (Yang) dan "Rapu" (Dekat), sehingga diartikan sebagai "Yang Dekat"; yaitu merujuk pada roh alam penguasa langit dan bumi yang selalu ada di sekitar manusia. Lokasi tempat ibadahnya disebut Parafu, tokoh-tokoh agamanya disebut Pamboro atau Sando (orang yang mampu berbicara dengan para waro atau roh leluhur, dimana roh leluhur tersebut menjadi perantara bagi dunia manusia dengan roh alam yang menguasai langit dan bumi), sementara upacara hari besarnya disebut Toho Dore yang dilakukan satu tahun sekali berupa memberikan persembahan sesajian secara besar-besaran dari hasil tanam dan penyembelihan hewan.
Lebih dari setengah penduduk Sumba memeluk kepercayaan ini. Agama ini memiliki kepercayaan kepada Pencipta Langit dan Bumi yang dilakukan lewat perantaraan pemujaan kepada nenek moyang dan leluhur. Pemeluk agama Marapu percaya bahwa kehidupan di dunia ini hanya sementara dan bahwa setelah akhir zaman mereka akan hidup kekal di dunia roh, yaitu di surga Marapu yang dikenal sebagai Prai Marapu.
Demikian juga di Sumba, upacara keagamaan marapu seperti upacara kematian dan sebagainya selalu dilengkapi penyembelihan hewan seperti kerbau dan kuda sebagai korban sembelihan. Hal tersebut sudah menjadi tradisi turun-temurun yang terus dijaga di Pulau Sumba.
Orang Sumba percaya bahwa roh nenek moyang ikut menghadiri upacara penguburan dan karenanya hewan dipersembahkan kepada mereka. Roh hewan untuk roh nenek moyang dan daging atau jasad hewan dimakan oleh orang yang hidup. Sama halnya dengan upacara yang lain [Kebamoto, 2015] Dan marapu sangat di pertahan kan oleh sebagian besar orang Sumba.