Biara adalah bangunan atau gugus bangunan yang digunakan sebagai tempat tinggal sekaligus tempat kerja para ahli zuhud, yakni biarawan atau biarawati, baik yang hidup berguyub maupun yang hidup berkhalwat. Sebuah biara lazimnya memiliki tempat khusus untuk sembahyang. Tempat khusus ini dapat berupa kapel, gereja, kuil, atau oratorium.
Daya tampung biara berbeda-beda, ada yang berupa bangunan kecil sekadar cukup untuk menampung seorang rahib saja, atau–bagi para petarak yang hidup berguyub–berkisar dari satu bangunan tunggal yang cukup untuk menampung satu rahib atau rubiah senior bersama dua-tiga rahib atau rubiah junior, sampai dengan permukiman dan perumahan luas yang dapat menampung puluhan hingga ratusan orang. Sebuah kompleks biara biasanya terdiri atas sekumpulan bangunan, yakni gedung gereja, dormitorium (asrama), claustrum (serambi yang melilingi sebidang lapangan persegi), refectorium (refter), librarium (perpustakaan), balnearium (permandian), dan infirmarium (panti husada). Bergantung pada lokasi, tarekat, dan pekerjaan para penghuninya, kompleks biara dapat pula diperlengkapi dengan sejumlah bangunan tambahan yang digunakan untuk menunjang keswasembadaan dan karya bakti para penghuninya, misalnya hospes (balai penyantunan), sekolah, atau bangunan-bangunan pertanian dan manufaktur seperti bangsal ternak, besalen, dan kilang bir.
Istilah "biara" dalam bahasa Indonesia berasal dari sebutan umum dalam bahasa Melayu bagi bangunan-bangunan keagamaan non-Islam. Umat Kristen Indonesia menggunakan istilah "biara" sebagai sebutan umum bagi tempat tinggal biarawan atau biarawati. Sebutan khusus bagi tempat tinggal biarawan atau biarawati yang berkhalwat adalah "pertapaan", sementara tempat tinggal biarawan atau biarawati dari tarekat-tarekat fakir lazimnya disebut "konven". Sebutan khusus lainnya adalah "susteran" (konven suster), "frateran" (konven frater), dan "bruderan" (konven bruder). Istilah "wisma" digunakan sebagai sebutan bagi rumah-rumah retret, rumah-rumah paguyuban imam praja, dan rumah uskup.