Monastisisme Kristiani merupakan praktik kesalehan individu-individu yang menjalani kehidupan asketis, dan biasanya tertutup, yang ditujukan pada ibadah Kristiani. Praktik ini mulai berkembang sejak awal sejarah Gereja dalam Kekristenan, meneladani contoh-contoh ideal di dalam Alkitab, termasuk yang terdapat di dalam Perjanjian Lama, kendati di dalam kitab suci tidak diamanatkan sebagai suatu institusi. Praktik ini diatur dalam aturan-aturan religius (misalnya Regula Santo Agustinus, St. Antonius Agung, dan St. Pakomius, Peraturan St. Basilius, serta Peraturan Santo Benediktus) dan, pada zaman modern, hukum kanon masing-masing denominasi Kristen yang memiliki bentuk kehidupan monastik atau kerahiban. Orang yang menjalani kehidupan monastik dikenal dengan istilah umum rahib (pria) dan rubiah (wanita). Dalam bahasa Inggris modern, mereka juga dikenal dengan istilah monastics yang dipandang netral-gender. Kata Inggris monk (rahib) berdasar pada kata Yunani monakhos yang berarti "soliter", dari kata monos yang berarti "sendiri".[1][2]
Pada awalnya para rahib tidak tinggal dalam biara-biara, melainkan hidup sendiri-sendiri, sebagaimana yang mungkin ditunjukkan oleh kata monos. Seiring dengan semakin banyaknya orang yang menjalani kehidupan kerahiban, hidup sendirian di padang gurun, mereka mulai berkumpul bersama-sama dan menjadi model bagi para rahib awal yang hidup di sekitar mereka. Para rahib dengan cepat membentuk komunitas-komunitas untuk memajukan kesanggupan mereka mempraktikkan suatu kehidupan asketik.[3] Menurut sejarawan Kekristenan bernama Robert Louis Wilken, "Dengan menciptakan suatu struktur sosial alternatif di dalam Gereja, mereka meletakkan dasar bagi salah satu dari institusi Kristen yang paling bertahan lama ... ."[4] Para monastik umumnya tinggal dalam suatu biara pertapaan, tempat mereka hidup di sana dalam kebersamaan komunitas (para senobit) ataupun dalam kesendirian (para eremit).