Definisi | Didefinisikan pada tahun 1977 oleh WHO, UNICEF, dan UNFPA sebagai "penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita atau perlukaan lainnya pada organ kelamin wanita untuk alasan nonmedis."[1] | ||||
---|---|---|---|---|---|
Area | Afrika, Asia Tenggara, Timur Tengah, dan pada berbagai komunitas di area ini.[2] | ||||
Jumlah | Lebih dari 200 juta perempuan di 27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman (tahun 2016).[3] | ||||
Usia | Beberapa hari setelah kelahiran sampai pubertas.[4] | ||||
Prevalensi | |||||
| |||||
|
Pemotongan kelamin perempuan (bahasa Inggris: female genital mutilation disingkat FGM),[a] juga dikenal sebagai pemotongan/perlukaan genitalia perempuan (P2GP), mutilasi kelamin perempuan, sunat perempuan, dan khitan perempuan, adalah pemotongan atau penghilangan sebagian atau seluruh bagian luar kelamin wanita. Praktik ini umum ditemukan di berbagai negara di Afrika, Asia, dan Timur Tengah. UNICEF memperkirakan pada tahun 2016 bahwa 200 juta wanita di 30 negara (27 negara Afrika, Indonesia, Kurdistan Irak, dan Yaman) telah menjalani prosedur ini.[3]
Pemotongan kelamin biasanya dilakukan oleh penyunat tradisional menggunakan pisau dan dilakukan mulai dari beberapa hari setelah kelahiran hingga masa pubertas dan seterusnya. Di separuh negara dengan ketersediaan data di tingkat nasional, sebagian besar pemotongan dilakukan ketika anak perempuan berusia di bawah lima tahun.[6] Cara pemotongan berbeda-beda menurut negara atau kelompok etnik, contohnya adalah penghilangan tudung klitoris dan glans klitoris; penghilangan labia bagian dalam; serta penghilangan labia bagian dalam dan bagian luar ditambah dengan penutupan vulva (infibulasi). Untuk metode infibulasi, sebuah lubang kecil disisakan untuk aliran urin dan cairan menstruasi; vagina kelak akan dibuka untuk hubungan intim dan dibuka lebih lanjut untuk melahirkan.[7]
Menurut pengkritik pemotongan kelamin perempuan, praktik ini berakar pada ketidaksetaraan gender, upaya untuk mengendalikan seksualitas perempuan, dan gagasan tentang kesucian, kesopanan, dan keindahan. Pemotongan ini biasanya diprakarsai dan dilakukan oleh wanita yang menganggapnya perlu demi kehormatan dan juga atas dasar ketakutan bahwa anak perempuan yang tidak menjalani FGM akan dikucilkan secara sosial.[8] Dampak buruk terhadap kesehatan tergantung pada metode yang dilakukan, contohnya adalah infeksi berulang, kesulitan buang air kecil dan pembuangan cairan menstruasi, nyeri kronis, perkembangan kista, ketidakmampuan untuk hamil, komplikasi saat melahirkan, dan perdarahan fatal.[7] Tidak ada manfaat kesehatan FGM yang diketahui sejauh ini.[9]
Komunitas internasional telah berupaya sejak tahun 1970-an untuk meyakinkan masyarakat agar tidak mempraktikkan FGM. Praktik ini telah dilarang atau dibatasi di sebagian besar negara yang masyarakatnya menerapkan FGM, meskipun peraturan yang ada acap kali diabaikan. Sejak 2010, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) telah menyerukan kepada para penyedia layanan kesehatan untuk berhenti melakukan segala bentuk FGM, termasuk reinfibulasi setelah melahirkan dan "penandaan" tudung klitoris secara simbolis.[10] Perlawanan terhadap FGM juga dikritik, terutama dari kalangan antropolog yang mendasarkan argumen mereka pada relativisme budaya.[11]
<ref>
tidak sah;
tidak ditemukan teks untuk ref bernama UNICEF2013p50
Kesalahan pengutipan: Ditemukan tag <ref>
untuk kelompok bernama "lower-alpha", tapi tidak ditemukan tag <references group="lower-alpha"/>
yang berkaitan