Perkawinan anak adalah perkawinan formal atau informal (tidak resmi) di mana salah satu atau kedua pihak berusia di bawah 19 tahun. Sebagian besar perkawinan anak terjadi pada anak perempuan dengan laki-laki dewasa.[1]
Dengan demikian, anak-anak secara otomatis tidak memiliki kemampuan untuk memberikan persetujuan, sehingga perkawinan anak dianggap menyalahi aturan pernikahan yang mengharuskan persetujuan secara sadar dari kedua belah pihak. Wilayah dengan prevalensi perkawinan anak tertinggi adalah Afrika Barat dan Afrika Sub-Sahara, sementara jumlah kasus perkawinan anak terbesar ada di Asia Selatan.
Perkawinan anak biasanya identik dengan perjodohan yang dilakukan oleh orang tua dengan alasan ekonomi. Menurut data, anak-anak perempuan dari keluarga miskin berisiko dua kali lebih besar terjerat dalam perkawinan anak.[2] Pandangan masyarakat yang mementingkan keperawanan perempuan dan menganggap perempuan memiliki masa reproduksi yang lebih pendek daripada laki-laki serta perempuan tidak mampu bekerja untuk mendapatkan penghasilan menjadikan kasus perkawinan anak di berbagai daerah sulit hilang.
Penelitian menunjukkan bahwa pendidikan seksual yang komprehensif dapat membantu mencegah perkawinan anak.[3] Mengurangi perkawinan anak di negara-negara berkembang membutuhkan pendidikan dan penguatan masyarakat di daerah pedesaan. Anak perempuan dapat membuat keputusan untuk menikah dan hidup lebih baik dengan pendidikan. Program pembangunan di daerah pedesaan seperti perawatan air, kesehatan, dan sanitasi dapat membantu finansial keluarga dan menekan angka perkawinan anak, sehingga pendidikan dan pembangunan pedesaan dapat memutus siklus kemiskinan dan perkawinan anak.