Salem | |||||
---|---|---|---|---|---|
![]() Peta lokasi Kecamatan Salem | |||||
Negara | ![]() | ||||
Provinsi | Jawa Tengah | ||||
Kabupaten | Brebes | ||||
Pemerintahan | |||||
• Camat | Urip Rosidik, S.IP.[1] | ||||
Populasi | |||||
• Total | 61,294 ( 2.010) jiwa | ||||
Kode Kemendagri | 33.29.01 ![]() | ||||
Kode BPS | 3329010 ![]() | ||||
Desa/kelurahan | 21 desa | ||||
|
Salem (Aksara Sunda: ᮞᮜᮨᮙ᮪) adalah sebuah kecamatan di Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Indonesia. Kecamatan ini terletak di ujung barat daya wilayah Kabupaten Brebes. Ibu kotanya berada di Desa Salem. Jarak ibu kota Kecamatan Salem dengan ibu kota Kabupaten Brebes yaitu sekitar 62 Km berkendara melalui Kecamatan Banjarharja. Kecamatan ini merupakan daerah yang dikelilingi pegunungan.
Informasi lebih lanjut mengenai Kecamatan Salem bisa menghubungi Pulung Aguswanto di no WA 082324522276
Semua penduduk Kecamatan Salem berbahasa dan berkebudayaan Sunda sejak berabad-abad yang lampau, sehingga mereka adalah penduduk asli di daerah ini. Pada masa lampau, daerah Salem termasuk dalam wilayah Kerajaan Galuh dan Kerajaan Pajajaran. Peninggalan penduduk pertama tersebut, sebagian dapat dilihat di situs Gunung Sagara (Lautan).
Pada abad ke-19 ditemukan naskah lontar tua di situs Gunung Sagara yang menggunakan bahasa Sunda kuno[butuh rujukan]. Naskah ini dibawa bupati Brebes RAA. Tjandranegara dan diserahkan kepada seorang ahli bahasa KF. Holle untuk kemudian disimpan di Batavia. Paling tidak ada dua naskah Sunda yang terkenal, yaitu Sewaka Darma dari Kabuyutan Ciburuy, Garut dan Carita Ratu Pakuan, yang menyebutkan sendiri bahwa (isi) naskahnya berasal dari (dan hasil bertapa dari) Gunung Kumbang (1218). Gunung Kumbang masa lampau mungkin adalah sebuah tempat lemah dewasasana, kabuyutan, dan tempat bagi para intelektual masa kerajaan Sunda. Mungkin di sini termasuk pula Gunung Sagara, di mana Gunung Sagara terletak di lereng selatan Gunung Kumbang tersebut.
Daerah Sunda di daerah Salem dan sekitarnya mempunyai perbedaan kebiasaan dengan daerah Sunda lainnya (Priangan, Banten, Karawang, dsb). Perbedaan tersebut terutama dapat dilihat dalam hal adat budaya, bahasa, detail bentuk-bentuk kesenian, dan juga dalam tatacara beragama. Tata cara beragama penduduk Salem kelihatannya masih terdapat unsur kegamaan Hindu dengan campuran campuran adat setempat yang kental. Pada zaman Hindia Belanda, penduduk Salem masih ada yang melestarikan atau melaksanakan praktek perkawinan model animisme. Misalnya, jika penduduk bermaksud hendak melaksanakan pernikahan, maka mereka akan mendaki dahulu ke lereng Gunung Sagara. Jika di lereng Gunung Sagara terlihat ada burung yang melakukan perkawinan, artinya kedua mempelai tersebut direstui oleh penghuni Gunung Sagara.
Wilayah Salem merupakan kecamatan terpencil, tetapi sempat juga ditetapkan menjadi sebuah kawedanan pada masa penjajahan Belanda. Penetapan ini diperkirakan disebabkan strategisnya daerah Salem. Pada era awal perang kemerdekaan, Salem juga menjadi pusat pertahanan atau tempat mengungsi Bupati Brebes pro Republik. Waktu itu bupati kembar, yang pro Belanda disebut bupati Recomba berkantor di Brebes (Gandasuli), sementara bupati RI berkantor di desa Bentarsari, Salem. Mengingat daerahnya yang strategis tersebut, setelah Perang kemerdekaan usai daerah ini juga pernah menjadi daerah basis pemberontak DI/TII pimpinan Amir Fatah.
Tahun 1960-an di daerah ini juga muncul gerakan-gerakan yang berafiliasi dengan pemberontakan G.30.S/PKI di Jakarta. Hal itu konon erat kaitannya dengan keberadaan pasukan TNI yang pernah bertugas di daerah Salem. Bagi masyarakat setempat tidak bisa dilupakan, ketika ada pasukan penumpas DI/TII (konon dari Div 449). Kejadian terakhir inilah yang menarik. Salem adalah daerah basis pesantren tradisional, tetapi kenapa banyak ditemukan anasir-anasir yang bertentangan dengan semangat pesantren.