Festival Cioko (Hanzi: 鬼節; pinyin: guǐ jié; lit. sembahyang arwah umum), atau disebut juga Festival Hantu Kelaparan, adalah sebuah tradisi perayaan dalam kebudayaan Tionghoa.[1] Festival ini juga sering disebut Festival Tionggoan (Hanzi: 中元, pinyin: zhong yuan). Orang Hakka menamakannya Chiong Si Ku[2] yang jatuh pada pertengahan bulan ke-7 (Bahasa Hakka=chhit-ngie̍t-pan).[3] Ritual ini sering dikaitkan dengan hari raya Taoisme Zhongyuan dan juga Buddhisme Ulambana.[4]
Perayaan ini jatuh pada tanggal 15 bulan 7 penanggalan Tionghoa. Bulan ke-7 Imlek juga dikenal sebagai Bulan Hantu (Chinese ghost month) di mana ada kepercayaan bahwa dalam kurun waktu satu bulan ini, pintu alam baka terbuka dan hantu-hantu di dalamnya dapat bersuka ria berpesiar ke alam manusia. Demikian halnya sehingga pada pertengahan bulan 7 diadakan perayaan dan sembahyang sebagai penghormatan kepada hantu-hantu tersebut. Tradisi ini sebenarnya merupakan produk masyarakat agraris pada zaman dahulu yang bermula dari penghormatan kepada leluhur serta dewa-dewa supaya panen yang biasanya jatuh di musim gugur dapat terberkati dan berlimpah. Adanya pengaruh Buddhisme memunculkan kepercayaan mengenai hantu-hantu kelaparan (makhluk Preta) yang perlu dijamu pada masa kehadiran mereka di dunia manusia.
Di dalam Buddhisme, tradisi ini disebut sebagai Ulambana yang juga dirayakan dan eksis dalam kebudayaan Jepang, Vietnam dan Korea. Namun, Ulambana tidak dapat diartikan langsung sebagai Festival Hantu dan sebaliknya juga. Terlepas dari semua mitologi religius di atas, hikmah dari perayaan ini sebenarnya adalah penghormatan kepada leluhur dan penjamuan fakir miskin. Pada hari itu diadakan pembacaan parita dan pesembahan untuk roh-roh gentayangan yang tidak berkeluarga atau yang ditelantarkan oleh keluarganya. Sebab itu, perayaan ini secara umum dikenal dengan nama Sembahyang Rebutan (Cioko).[4] Setelah perayaan selesai, barang-barang persembahan (makanan yang dipersembahkan) diberikan kepada fakir miskin.