Konflik kepentingan

Salah satu aturan untuk menghindari konflik kepentingan, pejabat publik dilarang untuk menyalahgunakan wewenang serta mengambil keuntungan pribadi atau kelompok dengan cara menjadi penyambung kepentingan. Larangan tersebut dimuat dalam PP No. 53 Tahun 2010.[1] Konflik kepentingan harus dihindari oleh pejabat publik dikarenakan mampu mempengaruhi netralitas dan kualitas dalam penentuan kebijakan yang akan dibuat. Sebagai bentuk pengendalian, di dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 masyarakat memiliki hak untuk membuat laporan apabila terjadi konflik kepentingan yang dilakukan oleh pejabat publik, dengan memberikan fakta dan keterangan.[2]

Konflik kepentingan adalah suatu keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti pengacara, politikus, eksekutif atau direktur suatu perusahaan, memiliki kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya. Suatu konflik kepentingan dapat timbul bahkan jika hal tersebut tidak menimbulkan tindakan yang tidak etis atau tidak pantas. Suatu konflik kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau suatu profesi.[3] Tercampurnya kepentingan pribadi dan kepentingan publik merupakan akar timbulnya konflik kepentingan. Dampak besar dari praktik konflik kepentingan yaitu penyalahgunaan kekuasaan hingga melupakan tugas utama pejabat publik yaitu untuk melayani kebutuhan masyarakat.[4] Meskipun dalam pengendalian konflik kepentingan sudah diatur dalam rambu-rambu hukum dan etika, namun di dalam lembaga pemerintahan, legislatif, yudikatif, institusi profesi, dan kegiatan bisnis konflik kepentingan masih sering terjadi. Tujuannya, untuk mencari keuntungan pribadi melalui kewenangan dan pembuatan kebijakan yang berpihak kepada pribadi atau yang berkepentingan.[5] Konflik kepentingan merupakan salah satu faktor penyebab korupsi. Hal ini bisa terjadi karena kerja sama antara Penyelenggara Negara dalam kegiatan pengadaan barang dan jasa. Selain itu, seorang penyelenggara negara yang memiliki rangkap jabatan juga bisa menyebabkan konflik kepentingan. Dampak lainnya yang ditimbulkan oleh konflik kepentingan yaitu terhadap pengambilan keputusan yang tidak objektif.[6]

Apabila melihat sejarah, isu mengenai konflik kepentingan sudah ada sejak zaman kerajaan di Indonesia. Adanya konflik kepentingan di zaman kerajaan dipengaruhi oleh sistem pemerintahan yaitu monarki klasik. Sistem pemerintahan tersebut memungkinkan seorang raja memegang kendali penuh terhadap pemerintahan, termasuk dalam pembuatan dan pengambilan kebijakan. Namun, sistem tersebut sudah berubah, dari monarki ke sistem demokrasi modern, dengan konsep seluruh kebijakan yang akan dibuat diprioritaskan untuk rakyat. Sehingga, para pejabat publik harus terhindar dari konflik kepentingan.[7]

  1. ^ Presiden Republik Indonesia (2010-01-01). "Peraturan Pemerintah No 53 Tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil" (PDF). PTUN Palangkaraya. hlm. 11. Diakses tanggal 2021-12-11. 
  2. ^ Pemerintah Pusat (2014-10-17). "Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2014" (PDF). Peraturan BPK. Diakses tanggal 2021-11-12. 
  3. ^ Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (2009-01-10). "Konflik Kepentingan" (PDF). IAKN Ambon. hlm. 2. Diakses tanggal 2021-05-12. 
  4. ^ Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia (2015-12-01). "Etika Publik: Modul Pendidikan dan Pelatihan Prajabatan Golongan III" (PDF). Lembaga Administrasi Negara. hlm. 27. Diakses tanggal 2021-12-11. 
  5. ^ Marzuki, Suparman (2017-08-06). "Konflik Kepentingan | ICW". antikorupsi.org. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  6. ^ Selong, KPPN (2021-04-13). "Mengenal Konflik Kepentingan, Upaya Penting Cegah Tindakan Korupsi". djpbn.kemenkeu.go.id. Diakses tanggal 2021-12-05. 
  7. ^ Rezha, Yuris (2020-04-29). "Konflik Kepentingan, Korupsi, dan Integritas Pelayanan Publik". Bung Hatta Anti-Corruption Award (dalam bahasa Inggris). Diakses tanggal 2021-12-11. 

Konflik kepentingan

Dodaje.pl - Ogłoszenia lokalne