Penghormatan leluhur dalam budaya Tionghoa

Sebuah kura-kura batu dengan "Prasasti Pahala Ilahi dan Kebajikan Suci" (Shen Gong Shen De), didirikan Kaisar Yongle tahun 1413 untuk menghormati ayahnya, Kaisar Hongwu, di Mausoleum Ming Xiaoling ("Mausoleum Ming Bakti Putra")

Penghormatan Leluhur pada budaya Tionghoa (Hanzi =敬祖;hanyu pinyin =jìngzǔ) adalah kebiasaan yang dilakukan anggota keluarga yang masih hidup untuk berusaha mencukupi kebutuhan anggota keluarga yang sudah meninggal dan membuat mereka berbahagia di akhirat. Praktik tersebut merupakan upaya untuk tetap menunjukkan bakti kepada mereka yang telah meninggal, dan juga memperkokoh persatuan dalam keluarga dan yang segaris keturunan. Menunjukkan rasa bakti kepada leluhur merupakan sebuah ideologi yang berakar mendalam pada masyarakat Tionghoa. Dasar pemikirannya adalah kesalehan anak (孝, xiào) yang ditekankan oleh Kong Hu Cu. Kesalehan anak adalah sebuah konsep untuk selalu mengasihi orang tua sebagai seorang anak. Dipercaya bahwa meskipun orang yang terkasih telah meninggal, hubungan yang terjadi selama ini masih tetap berlangsung, serta orang yang telah meninggal memiliki kekuatan spiritual yang lebih besar dibandingkan pada saat masih hidup. Pengertiannya adalah para leluhur dianggap menjadi dewa yang memiliki kemampuan untuk berinteraksi dan mempengaruhi kehidupan anggota keluarga yang masih hidup.[1]

Inti kepercayaan terhadap pemujaan leluhur adalah bahwa masih adanya "kehidupan" setelah kematian.[2] Dipercaya bahwa jiwa orang yang meninggal terbuat dari komponen Yin dan Yang yang disebut hun dan po. Komponen Yin, po (魄), diasosiasikan dengan makam,dan komponen Yang, hun (魂), diasosiasikan dengan papan nama leluhur yang dipajang pada altar penghormatan leluhur (sekarang sering kali digantikan dengan memajang foto). Po mengikuti tubuh ke dalam makam (ke pengadilan)dan hun tinggal dalam papan nama leluhur. Hun dan po tidaklah abadi dan perlu dipelihara (diberi makan) dengan persembahan, atau keduanya akan pergi ke akhirat (meskipun hun pergi ke surga terlebih dulu). Tidak seperti istilah yang digunakan bangsa barat, akhirat tidak memiliki konotasi negatif.[3]

Keadaan pemujaan leluhur di Republik Rakyat Tiongkok modern dilaporkan mengalami penurunan pada wilayah yang lebih dipengaruhi oleh rezim komunis (yang tidak ramah terhadap praktik keagamaan). Namun pada daerah pedesaan, dan juga Taiwan, pemujaan leluhur dan praktiknya masih biasa ditemukan.[2]

  1. ^ Thompson, L. G. (1979). Chinese Religion: An Introduction Third Edition. Belmont, California: Wadsworth, Inc.
  2. ^ a b ReligionFacts. (2005, June 2). Ancestor Veneration. Retrieved October 21, 2008, from www.religionfacts.com: http://www.religionfacts.com/chinese_religion/practices/ancestor_worship.htm[pranala nonaktif permanen]
  3. ^ Roberta H. Martin (2007). Settling the Dead: Funerals, Memorials and Beliefs Concerning the Afterlife. Retrieved October 21, 2008, from Living in the Chinese Cosmos: Understanding Religion in Late-Imperial China: http://afe.easia.columbia.edu/cosmos/prb/journey.htm[pranala nonaktif permanen]

Penghormatan leluhur dalam budaya Tionghoa

Dodaje.pl - Ogłoszenia lokalne