Pertempuran Lima Hari | |||||||
---|---|---|---|---|---|---|---|
Bagian dari Revolusi Nasional Indonesia | |||||||
Tugu Muda di Semarang untuk memperingati pertempuran | |||||||
| |||||||
Pihak terlibat | |||||||
Indonesia | Jepang | ||||||
Tokoh dan pemimpin | |||||||
Kido Shinichirō | |||||||
Pasukan | |||||||
Tentara Keamanan Rakyat (TKR) Kepolisian Negara Republik Indonesia (POLRI) Pemuda | Batalyon Infanteri Khusus ke-5 (Kido Butai), Yagi Butai (batalion Resimen Infanteri ke-42, Divisi ke-5, Angkatan Darat ke-2), dan unit-unit yang lebih kecil | ||||||
Kekuatan | |||||||
7.000 | 441[1]–949[2] | ||||||
Korban | |||||||
2.000 orang tewas (termasuk warga sipil) |
150–850 orang tewas 61 terluka 231 hilang |
Pertempuran Lima Hari adalah adalah bentrokan antara pasukan Jepang dari Tentara Keenambelas dan pasukan Indonesia yang terdiri dari personil Badan Keamanan Rakyat dan pemuda pada bulan Oktober 1945 di Kota Semarang, Jawa Tengah. Pertempuran ini dianggap sebagai bentrokan besar pertama yang melibatkan militer Indonesia.
Dengan menyerahnya Jepang, pihak berwenang Indonesia berusaha untuk menyita senjata Jepang untuk mengantisipasi kembalinya Belanda. Ketegangan meningkat setelah garnisun Semarang menolak untuk menyerahkan senjata mereka, dan setelah sebuah insiden yang memicu pembantaian warga sipil Jepang, pertempuran pun pecah antara pasukan Jepang dan Indonesia.